- Pengumuman Hasil Tes Interview Gelombang 3 dan 4 PPDB SMKI ...
- Pengumuman Hasil Tes Interview Gelombang 2 PPDB SMKI ASSALAM...
- PENGUMUMAN HASIL TES INTERVIEW GELOMBANG 1 SMKI ASSALAM JAMB...
- PPDB tahun ajaran 2025/2026 telah dibuka....
- PENGUMUMAN HASIL INTERVIEW TES PPDB GELOMBANG 3 SMK ISLAM AS...
- PENGUMUMAN HASIL INTERVIEW TES PPDB GELOMBANG 2 SMK ISLAM AS...
- ASSALAM BERSHOLAWAT bersama Habib JA'FAR BIN UTSMAN AL-JUFRI...
- (UPDATE) PENGUMUMAN HASIL SELEKSI INTERVIEW PPDB GELOMBANG 1...
- PENGUMUMAN HASIL SELEKSI PENERIMAAN CALON SISWA BARU GELOMB...
- PENGUMUMAN HASIL SELEKSI PENERIMAAN SISWA BARU GELOMBANG 2 S...
Transformasi Digital Dunia Pendidikan Harus Waspadai Masalah Keamanan Siber
Penulis:
Tira Santia
Dilansir dari LIPUTAN6.com - Perilaku masyarakat berubah seiring keberadaan pandemi Covid-19.
Mulai dari aktivitas perkantoran, operasional industri hingga pekerja kantoran.
Demikian pula proses belajar-mengajar dari tingkat sekolah dasar hingga bangku
kuliah ikutan menyesuaikan.
Pada kondisi ini, pemanfaatan teknologi
yang masif dinilai harus dibarengi dengan keamanan siber (cybersecurity)
yang mumpuni sekaligus menjadi kunci fundamental agar bisnis dapat berjalan
secara efektif dan efisien.
Seperti kegiatan belajar-mengajar bisa
berlangsung tanpa mengurangi kualitas pendidikan bagi siswa hingga kegiatan
lainnya juga bisa berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengurangi produktivitas.
Dengan masuk menuju transformasi digital.
Hal ini menjadi bahasan utama dalam
Webinar bertajuk “Cyber Security: A Fundamental Key For Digital Transformation
In The Education Sector” yang diselenggarakan Telkomtelstra bekerjasama dengan
Asosisasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) dan The Indonesia
Australia Business Council (IABC) akhir pekan lalu dengan moderator George
Marantika, Wakil Ketua APTISI dan National President IABC.
President Director Telkomtelstra Erik
Meijer, mengatakan bahwa dunia pendidikan mengalami perubahan selama pandemi
Covid-19 yang telah berlangsung selama 1,5 tahun ini.
Proses transformasi digital tidak bisa
dihindari. Kegiatan belajar-mengajar yang sebelumnya dilakukan secara tatap
muka, kini harus dijalankan secara virtual melalui platform seperti Microsoft
Teams, Zoom, GoogleClass, dan sebagainya.
“Oleh karena itu, keamanan siber
pemakaian platform tersebut dan implementasi pemakaian cloud yang aman dan
mumpuni menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dihindari,” ujarnya.
Menurut Erik keamanan siber ini menjadi
tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah, provider, hingga pengguna.
Tujuannya agar proses belajar-mengajar
bisa berlangsung dengan baik, sesuai ekspektasi sehingga kualitas pendidikan
tetap terjaga dan siswa peserta didik memperoleh manfaat dari pembelajaran
online ini.
Pada kesempatan yang sama, Dosen Senior
Sotftware Systems & Cybersecurity, Monash University, Australia Amin
Sakzad, menjelaskan bahwa Monash University sudah mengimplementasikan
transformasi digital dengan Cryptography.
Sistem ini dijabarkan untuk metode
pembelajaran melalui interaksi online seperti Zoom, Webex, Teams, Classroom
Learning Platforms (EdSTEM, Moodle). Kemudian untuk pendekatan pengajaran
melalui Gamification dan AR/VR. Terakhir untuk proses penilaian melalui online
Assessment platforms, eAsseessment, Al-driven invigilation.
Sebelumnya, perkuliahan dilakukan secara
tatap muka dengan 500-600 mahasiswa. Namun, sekarang, tidak diperlukan lagi
karena perkuliahan dilakukan secara online.
“Tantangannya, kami harus bisa
menyampaikan materi kuliah secara menarik, praktis dan mudah dipahami. Tak
heran, dengan cryptography, salah satunya metode
pembelajarannya adalah melalui pendekatan novel gamification,”
jelasnya.
Tidak hanya itu, Amin menambahkan bahwa
ada metode lain seperti flip classes, record offline, hol Q&A workshops
yang juga dijalankan di Universitas Monash.
“Tentu saja di balik implementasi
transformasi digital, kami juga harus mampu menangkal serangan Ransomware, IDS,
PenTest dan Malware. Kunci suksesnya terletak pada bagaimana kami bisa
memaksimalkan data security, organisational security, software security,
componet security dan connection security sehingga
dapat berjalan dengan baik,” tandas dia.
SM
Solutions, IT & Business Analyst Telkomtelstra Anang
Siswanto, mengatakan perlu sikap kehati-hatian dan selalu waspada bagi
institusi pendidikan yang melakukan transformasi digital.
Faktanya, serangan terhadap keamanan
siber (ransomware cs) terhadap perusahaan yang melakukan transformasi digital
ternyata terus berkembang.
Berdasarkan data dari Checkpoint Cyber
Security Report 2021& Cisco 2021 Cyber Security threat trends menunjukkan
bahwa perusahaan harus mengeluarkan biaya US$20 miliar karena serangan ini.
Ada dua jenis serangan yang sering
terjadi yakni Phising Attack dan Trojan Attack. Kedua serangan ini menyebabkan
informasi berharga organisasi bisa terekspos secara ‘telanjang’ sehingga bisa
diakses oleh siapa pun secara bebas atau data hilang/rusak atau tidak bisa
digunakan lagi oleh organisasi. Hal ini dapat mengakibatkan organisasi merugi
atau bahkan bangkrut.
Upaya untuk menghadapi atau menangkal
serangan tersebut, semua keamanan siber ini harus dimulai dari diri sendiri
atau tim TI internal perusahaan.
Informasi dan pengetahuan yang tidak
memadai mengenai transformasi teknologi ini menjadi celah masuknya serangan
tersebut. “Prinsip hati-hati dan waspada harus menjadi doktrin masing-masing
individu di era digital saat ini,” ujarnya.
Salah satunya dengan memaksimalkan
fitur-fitur Security seperti menggunakan Multi-Factor Authentication (MFA),
selalu melakukan back up data serta meng-enkripsi semua data penting dan jalur
komunikasi.
“Saya merekomendasikan menggunakan pihak
ketiga untuk masalah keamanan perusahaan ini. Tentu saja, provider-nya harus
memiliki sertifikat ISO 27001, memiliki pengalaman mumpuni terkait data
security serta bisa dipercaya,” tandasnya.
Sementara itu, Andy Siregar selaku
Principal Expert Security Strategy, Telkom Indonesia menyoroti efek samping
dari transformasi digital yang dapat menyebabkan organisasi menjadi semakin
rentan terhadap risiko keamanan siber.
Hal ini diperkuat oleh data survei dari
Ponemon Institute 2020: Cyber Security Awareness Measurement Service dimana
lebih dari 50% responden dari C-level mengakui bahwa organisasinya sangat
rentan.
“Data ini juga ingin menunjukkan bahwa
Human is the Weakest link. Dengan kata lain faktor manusia atau individu
menjadi titik terlemah dalam upaya pengamanan siber,” ujarnya.
Andy menambahkan bahwa modus yang sering
terjadi adalah menawarkan gimmick berupa diskon, barang, layanan atau jasa
lainnya yang membuat calon korban tergiur dan kemudian tertipu. Bisa melalui
WA, email atau laman yang ternyata semuanya adalah penipuan (phising).
“Oleh karena itu peran organisasi dan
seluruh pemangku kepentingan, sangat penting dalam menjaga keamanan siber.
Kuncinya terletak pada komitmen untuk membudayakan keamanan informasi. Hal ini,
bisa dibuat seperti daftar “Do’s and Don’ts” yang wajib dipatuhi dan
dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terlibat,” kata Andy.
Sumber: