- PENGUMUMAN HASIL INTERVIEW TES PPDB GELOMBANG 2 SMK ISLAM AS...
- ASSALAM BERSHOLAWAT bersama Habib JA'FAR BIN UTSMAN AL-JUFRI...
- (UPDATE) PENGUMUMAN HASIL SELEKSI INTERVIEW PPDB GELOMBANG 1...
- PENGUMUMAN HASIL SELEKSI PENERIMAAN CALON SISWA BARU GELOMB...
- PENGUMUMAN HASIL SELEKSI PENERIMAAN SISWA BARU GELOMBANG 2 S...
- PENGUMUMAN HASIL INTERVIEW CALON SISWA SMKI TAHUN AJARAN 202...
- MILLENIAL ASSALAM OLYMPIC-1 2022...
- Juara 3 Kejuaraan Pencak Silat Tapak Suci Se-Jatim...
- PTA ( Penerimaan Tamu Ambalan ) YPI Assalam Jambewangi...
- MATSAMA & MPLS YPI Jambewangi...
Dilema Kartini, Perempuan yang Menuntut Pendidikan Setara dan Pentingnya Peran Ibu
Penulis: Rachel Narda Chaterine
Dilansir dari kompas.com, Jakarta - Raden
Ajeng Kartini, yang setelah menikah mendapat gelar Raden Ayu, dilahirkan dan
tumbuh besar pada zaman di saat kaum perempuan tidak memiliki kebebasan untuk
mengenyam pendidikan yang tinggi layaknya perempuan masa kini.
Pada akhir abad ke-19, kaum perempuan tidak
bisa bebas melakukan aktivitas di luar rumah karena mereka terbelenggu adat
istiadat dan budaya kehidupan bangsawan pada masanya.
Saat itu, kaum perempuan yang sudah akil
baligh wajib dipingit sehingga terbatas dalam berkegiatan di luar rumah.
Kartini pun mengalami tradisi itu sejak
berusia 12 tahun. Ia dilarang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi oleh ayahnya sendiri.
Meskipun lingkungan sekitarnya memandang
kaum perempuan tidak setara dengan laki-laki, namun RA Kartini meyakini bahwa
perempuan di Hindia Belanda justru harus mengenyam pendidikan yang setara
dengan kaum laki-laki.
Bagi Kartini, kaum perempuan seharusnya
memiliki pendidikan yang baik karena kaum perempuan sangat berpengaruh bagi
kehidupan anak-anaknya kelak.
Kartini merasa kaum perempuan akan memiliki
pengaruh dan tugas besar sebagai seorang ibu yang juga menjadi pendidik bagi
anak-anaknya.
Ia tidak pernah menginginkan akses
pendidikan bagi kaum perempuan sebagai wujud egosektoral untuk menyaingi kaum
laki-laki.
Pemikirannya ini juga ditulis Kartini dalam
suratnya kepada Prof Anton beserta istrinya pada 4 Oktober 1902, dilansir dari
buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya
(1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno:
"Apabila kami di sini minta, ya
mohon, mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi
anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan
menjadi saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini."
Sayangnya, pemikiran Kartini saat itu masih
sulit diterima masyarakat pada zamannya. Kartini pun sangat menyadari
konsekuensi atas pemikiran dan cita-cita yang ingin diwujudkannya terhadap kaum
perempuan.
Di zaman yang memandang bahwa kaum
perempuan tidak sertara dengan kaum laki-laki, tentunya akan sulit bagi Kartini
untuk mewujudkan cita-citanya itu.
Pemikirannya yang ingin menaikkan derajat
kaum perempuan menjadi setara dengan kaum laki-laki dalam bidang pendidikan
ialah pemikiran yang tidak lazim bagi masyarakat saat itu.
Apabila Kartini ingin memperjuangkan
pemikirannya serta mengambil pilihan untuk menjadi perintis pendidikan bagi
kaum perempuan, maka keluarganya adalah salah satu hal yang harus ia korbankan.
Sebab, cita-citanya untuk memperjuangkan
kesetaraan pendidikan bagi kaum perempuan itu akan membuat hati kedua
orangtuanya hancur.
Sebagai seorang perempuan bangsawan Jawa,
RA Kartini harus berbakti kepada keluarganya atau masyarakat di sekitarnya.
Bahkan, dia sempat berpikir untuk mengubur
dalam-dalam keinginannya itu demi menyenangkan hati keluarganya.
Namun, jika tidak ada yang memperjuangkan
cita-cita tersebut, maka kesetaraan hak kaum perempuan dan kaum laki-laki tidak
akan bisa terwujud.
Kartini juga sempat mengatakan hal tersebut
kepada Prof Anton melalui surat itu. Ia merasa bahwa dirinya sedang dihadapkan
pada dua pilihan yang sulit.
"Bagaimana sepatutnya membuat
kebajikan sebesar-besarnya bagi manusia? Apakah dengan melalaikan diri sendiri,
ataukah dengan mewujudkan kehendak diri sendiri? Apakah harus mengundurkan diri
demi dua orang yang sangat dicintai, ataukah mewujudkan kehendak diri sendiri
berbakti kepada keluarga besar masyarakat?"
Alasan Pemikiran Kartini
Kartini memandang menjadi seorang ibu
layaknya menjadi pendidik manusia yang paling utama. Sejak dilahirkan ke bumi,
anak-anak akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu.
Karena itu, seorang perempuan harus
memiliki kecakapan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu dan pendidik
bagi anaknya.
"Melainkan karena kami yakin akan
pengaruh besar yang datang dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan
perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh
Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik umat manusia yang
utama," tulis Kartini.
Kecakapan perempuan dalam mendidik anaknya
akan sangat memengaruhi watak dan karakter seorang anak. Seorang ibu, menurut
Kartini, adalah pusat kehidupan rumah tangga.
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Kartini
berpikir bahwa kaum perempuan harus mengenyam pendidikan yang baik pula agar
kelak bisa menjalani tugas sebagai seorang ibu yang cakap mendidik
anak-anaknya.
"Bukan saja sekolah yang harus
mendidik jiwa anak, tetapi juga yang terutama pergaulan di rumah harus
mendidik! Sekolah mencerdaskan pikiran dan kehidupan di rumah tangga hendaknya
membentuk watak anak itu!" ucap Kartini.
Kartini saat itu sangat menyadari bahwa
perihal mendidik bukan hanya sekadar membuat seseorang menjadi pintar, namun
watak dan karakter juga merupakan bagian dari pendidikan.
Ia menilai intelektualitas harus juga
diimbangi dengan watak budi pekerti yang baik. Bagi Kartini, hal itu akan bisa
diwujudkan melalui pendidikan dari seorang ibu dalam sebuah keluarga.
"Perempuanlah, kaum ibu yang
pertama-tama meletakkan bibit kebaikan dan kejahatan dalam hati sanubari
manusia, yang biasanya terkenang dalam hidupnya."
Anak perempuan kelak akan menjadi seorang
ibu, sedangkan anak laki-laki akan menjadi penjaga kepentingan bangsa. Setiap
anak tentu akan memiliki peran dalam membangun peradaban.
Kesadaran akan hal tersebut, membuat
Kartini memandang seorang perempuan yang menjadi seorang ibu dibebankan secara
tidak langsung dengan pekerjaan memajukan peradaban.
Oleh karena itu, agar kemajuan peradaban
bisa berjalan dengan cepat, maka seorang perempuan harus mendapatkan akses
pendidikan yang baik agar memiliki kemampuan mendidik anak-anaknya dengan baik.
"Anak-anak perempuannya akan
menjadi ibu pula. Sedangkan anak-anak laki-laki kelak pasti akan menjadi
penjaga kepentingan bangsanya," ujar Kartini.
Sumber: